Rabu Abu, 5 Februari 2025

7 Mar 2025

 

 ===============

Mat 6:1"Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.

Mat 6:2Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.

Mat 6:3Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.

Mat 6:4Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."

Mat 6:5"Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.

Mat 6:6Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.


Mat 6:16"Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.

Mat 6:17Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu,

Mat 6:18supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."

 ==================================

Pernahkah kamu merasa, ketika tiba-tiba jenuh dengan segala sesuatu dan ingin menghilang sejenak dari hidupmu?  Pernahkah kamu merasa, ketika  hati tiba-tiba seperti tertindih batu, dan engkau dengan susah payah ingin menghempaskannya?  Pernahkah kamu merasa, ketika tiba-tiba seolah hilang segala indra, dan hanya ingin tenggelam dalam keheningan nyata?

Rabu Abu yang selalu melow.  Selalu menimbulkan daya magis untuk mencari dan mencari arti diri yang sesungguhnya masih meragu.  Untuk siapakah aku berpuasa, dan untuk apa?  Mengapa aku berpuasa dan apakah memang demikian adanya?  Jika aku berpuasa untuk menyenangkan egoku, atau sekedar demi memenuhi kewajiban agamaku, lantas apa gunanya aku berpuasa?  Bukankah berpuasa harusnya muncul dari hati yang mencinta?  Karena aku mencintaiMu maka aku mengakui salahku dengan menjalani puasa dan pantang, supaya aku bisa semakin  mencintaiMu dalam diri sesama yang ada di sekitarku.

Dua hari yang lalu aku mengikuti misa Rabu Abu di paroki. Misa yang menurutku sedikit menjadi agak dramatis akibat kurangnya persiapan yang memadai.  Jumlah umat yang membludak tidak diimbangi dengan jumlah kursi yang tersedia sehingga banyak umat yang harus berdiri sepanjang misa.  Belum lagi ada beberapa petugas liturgi yang sepertinya asal-asalan dalam mempersiapkan diri.  Mungkin karena dipikir hanya sekedar misa Rabu Abu sehingga tidak perlu totalitas yang tinggi.  Misa yang harusnya berlangsung dengan penuh khidmat akhirnya harus diselingi dengan banyak gerutu.  Dan pada akhirnya aku malah jadi terlihat seperti orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang hobinya mengritik kekurangan orang lain dalam topeng kesucian palsu.  Rabu Abu seolah hanya menjadi ritual basa basi dari waktu ke waktu.

Aku pulang dengan membawa berjuta pertanyaan berkecamuk di kepala. Dan kepala kosong itu menjadi penuh saat menuntut jawaban utuh.  Apakah puasa dan pantang dilakukan hanya untuk mendapatkan pahala?  Apakah puasa dan pantang dilakukan hanya supaya doa-doa dikabulkan?  Apakah puasa dan pantang dilakukan hanya untuk sekedar ikut-ikutan?  Apakah puasa dan pantang dilakukan hanya sekedar untuk menyenangkan Tuhan?  Apakah Tuhan butuh disenangkan?  Mengapa Tuhan butuh untuk disenangkan?  Bukankah Tuhan adalah Yang Maha Besar dan Maha Tahu?  Terkenang kata seorang Romo dalam kotbahnya di Jogja waktu itu.  Puasa dan pantang tanpa disertai dengan pertobatan adalah sia-sia.  Pertobatan tanpa disertai aksi nyata juga demikian adanya. Semuanya adalah sia-sia.  Dan hanya akan menjadi kesia-siaan semata.

Perubahan hidup, meskipun terlihat kecil dan tidak berarti, tetap adalah perubahan.  Intinya adalah, beranikah aku untuk berubah?  Berubah dari hal yang tidak baik menuju kepada hal-hal yang baik.  Berpuasa dan berpantang bukan karena kewajiban.  Bukan karena ikut-ikutan dan ingin dilihat orang.  Bukan karena mengharap imbalan.  Tetapi berpuasa dan berpantang karena cinta.  Karena cinta aku ingin berubah. Karena cinta aku rela berkurban dan berderma.  Karena cinta aku ingin puasa dan pantangku menjadi indah.  

Semoga Rabu Abu tahun ini, menjadi awal untuk kembali menata hati.  Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS